banner

Kamis, Desember 04, 2025

author photo

 PASAL KE-5 

KH Imadudin Menjawab Soal: PENETAPAN NASAB DENGAN CARA ISTIFADLAH

Pakar nasab Syaikh Husain bin haidar al-hasyimi mengatakan dalam kitabnya Rasa‘il fi ‗Ilm al-Ansab:

الطريق الأول : اسْتفَاضَة النسب وشهرتو في بلده، شهرة تثمر علماً، واستفاضة بتُ عددٍ مِن الناسِ يقع العلم تٓبرىم أو الظن القوي، ويؤمن توافقهم على الكذب، مع عدم ات١عارض انتهى.

Terjemah:

―metode pertama adalah menyeluruhnya (informasi) nasab dan popularnya di kampungnya dengan popular yang membuahkan keyakinan dan menyeluruh antara bilangan manusia yang terjadi keyakinan dengan khabar mereka atau sangkaan yang kuat; dan aman dari kesepakatan mereka berdusta disertai tidak adanya dalil penentang.‖[1] 

Metode pertama untuk menetapkan nasab menurut Syekh AlHusain adalah Istifadlatunnasab (menyebarnya nasab) dan“syuhratunnasab” (popularnya nasab) di desanya. Kalimat istifadlah dan syuhrah dalam Bahasa Arab bermakna sama yaitu “intasyara wa dza‟a” (menyebar dan popular/viral). Jadi, jika seseorang, misalnya Samsul, telah dikenal luas sebagai anak Bapak Samlawi di desanya atau di negaranya, maka ketika ada orang ditanya oleh orang lain, baik dalam suasana formal atau informal, “Samsul anak siapa?”, Lalu orang itu menjawab, “ Samsul anak bapak Samlawi,” maka ia tidak dianggap berdusta walaupun ia tidak mengetahui kelahiran samsul ini, atau ia tidak mengetahui akte kelahirannya, kenapa karena kabar itu telah dibicarakan banyak orang: “syuhrah dan istifadlah.”
KH Imadudin Menjawab Soal PENETAPAN NASAB DENGAN CARA ISTIFADLAH


Tetapi syuhrah istifadlah itu bisa diterapkan untuk meng-itsbat nasab, menurut Syekh Husain, hanya ketika tidak ada bukti yang menentang („adamul mu‟aridl). Bukti yang menentang itu bisa berupa pengingkaran dari ayah atau adanya Tha‟n (celaan pengingkaran nasab) dari orang. Misal begini: ada orang bersaksi bahwa Ubaid adalah anak Ahmad berdasarkan Syuhrah (dengar-mendengar). lalu ada orang men-tha‟n (mengingkari) dengan mengatakan bahwa Ubaid bukan anak Ahmad dengan membawa bukti, maka gugurlah Tasamu‟ atau syuhrah istifadlah itu. yang demikian itu namanya tha‟n (celaan pengingkaran nasab). Jika tha‟n ini berdasar bukti maka dapat diterima, jika berdasar bukti tidak maka diabaikan.

Jadi tidak bisa dikatakan ketika Ubaidillah hari ini sudah syuhrah wal istifadlah sebagai anak Ahmad bin Isa, maka itu cukup untuk dijadikan dalil itsbat selamanya. Tidak demikian. Jika ada dalil yang kuat yang menyatakan sebaliknya maka syuhrah wal istifadlah itu gugur. 

Perhatikan apa yang dikatakan dalam Kitab Nihayatul Muhtaj  juz 8 h. 319 karya Imam Ramli: )وَلَوُ الشَّهَادَةُ بِالتسَامُعِ( حَيْثُ لَمْ ي عَارضْوُ أقْ وى مِنوُ كَإِنْكَارِ المَنْسُوبِ إليْوِ أوْ طعْنِ أحَدٍ في الِانتسَابِ إليْوِ، ن عَمْ ي تجَوُ أنوُ لَا بدَّ مِنْ طعْنٍ لَمْ تَ قُمْ قرينَةٌ عَلى كَذِبِ قائلوِ  

―Dan boleh baginya bersaksi dengan tasamu‟ ketika tidak ada penentang yang lebih kuat dari tasamu‟, seperti inkarnya orang yang dinisbahkan, atau adanya tha‟n (celaan) seseorang dalam nasab itu. benar hukum demikian bahwa tasamu‘ gugur dengan adanya inkar dan tha‟n, tetapi menurut pendapat yang kuat, bahwa disyaratkan tha‟n itu tidak disertai tanda-tanda kedustaan

orang yang menyampaikannya‖

Dari ucapan Imam Ramli ini jelas, bahwa tasamu‟ atau popularnya Samsul sebagai anak Samlawi disyaratkan dua hal: pertama, jika Samlawi masih hidup, maka ia tidak mengingkari bahwa Samsul adalah anaknya, jika ia mengingkari maka batal-lah tasamu‟ itu ; kedua, jika Samlawi telah meninggal maka disyaratkan tidak adanya saksi yang mengatakan bahwa sebenarnya Samsul bukan anak Samlawi, tetapi ia hanya anak angkat. Jika ada saksi yang mengatakan bahwa sebenarnya Samsul hanya anak angkat dengan membawa bukti maka gugurlah tasamu‟ itu. terkait nasab Ubaid yang hari ini secara tasamu‘ dikatakan sebagai anak Ahmad ternyata datang saksi berupa kitab Al-Syajarah al-Mubarakah yang menyatakan anak Ahmad hanya tiga Muhammad, Ali dan Husain, tidak ada anak bernama Ubaid atau Abdullah atau Ubaidillah, disertai tes DNA Ubaid yang berbeda dengan DNA keturunan Ahmad, maka gugurlah tasamu‟ itu. 

Proposisi demikian pula dikuatkan oelh Ibnu Hajar Al-Asqalani berkata:

 ان النسب ت٦ا يثبت بالاستفاضة الا ان يثبت ما يخالفو )اتٞواب اتٞليل عن حكم بلد ات٠ليل: ٗٚ)

―Sesunggunya nasab adalah sebagian dari yang bisa ditetapkan dengan metode istifadloh kecuali telah sohih sesuatu yang menentangnya.‖[2] 

Teks senada banyak terdapat dalam kitab-kitab fikih bahwa Syuhrah dan Istifadlah tidak mutlak digunakan tanpa syarat, tetapi ia mempunyai syarat yaitu tidak adanya dalil penentang sedangkan nasab Ba‘alwi yang sekarang popular (Syuhrah) itu ada dalil penentang yaitu kitab Al-Syajarah al-Mubarakah di abad ke-6 H. yang menyatakan nama anak-anak Ahmad bin Isa hanya tiga: Muhammad, Ali dan Husain. Jadi munculnya nama Abdullah/ubaidillah di abad ke-9 H. itu tertolak mentah-mentah. 

 

Maksud Syuhrah Wa al-Istifadlah adalah Min Adzhar alBayyinat 

Kalimat Syekh Al-Husain bahwa syuhrah wal istifadlah adalah “min adzhar al Bayyinat”, bukan bermakan bahwa syuhrah itu dalil paling kuat. Bukan. Jika yang diinginkan maksudnya adalah ―paling kuat‖ maka kalimatnya adalah “min aqwal bayyinat”. Adapun maksud “min adzhar al- bayyinat” adalah yang ―paling nampaknya bukti‖ atau ―bukti paling mudah di akses‖. Artinya bukti yang paling mudah dicapai oleh orang untuk mengetahui nasab seseorang. Kita tidak perlu sulit-sulit menanyakan akta kelahirannya, hasil dengar mendengar saja sudah cukup untuk mengatakan bahwa Samsul adalah anak Samlawi. Artinya jika kita mengatakannya kita tidak dianggap berdusta atau tidak bisa dituntut di pengadilan. 

Hakikat kesaksian itu seharusnya adalah apa yang dapat dilihat, tetapi ulama membolehkan beberapa hal untuk dikatakan sah kesaksiannya hanya berdasar syuhrah atau dengar-mendengar, diantaranya adalah nasab, pernikahan, jima, kematian dan pengangkatan sebagai hakim. Karena masalah-masalah tersebut biasanya hanya diketahui oleh orang-orang terdekat dengan seseorang. Jika tidak dibolehkan bersaksi dengan syuhrah, maka akan membawa dampak negative yaitu banyak kekosongan hukum karena tidak bisa mencari saksinya.[3] 

 Syuhrah wa al-Istifadlah boleh dijadikan tools untuk bersaksi hanya karena darurat. Karena ada beberapa hal yang sulit untuk disaksikan dengan mata secara langsung diantaranya tentang nasab dan kematian. Tentang kebolehan bersaksi dengan syuhrah ini dihikayatkan adanya ijma‘. Ijma‘ yang dimaksud itu adalah ijma tentang kebolehan penggunaan metode syuhrah, bukan ijma tentang bahwa nasab harus diijma‘ dengan syuhrah. Orang yang menyatakan demikian, seperti Idrus Ramli, menunjukan kebodohan yang nyata dalam Ilmu Fikih.

Coba perhatikan yang dinyatakan kitab Al-Najm al-Wahhaj karya Al- Damiri:

قال: )ولو الشهادة بالتسامع على نسب( بالإتٚاع, لأن نسبو لا يدرك بالبصر, وغاية ات١مكن رؤية الولادة على الفراش، فاكتفي فيو بالاستفاضة للحاجة، ويجوز ذلك وإن لم يعرف عتُ ات١نسوب إليو، حكاه في )الكفاية( عن )الإشراف.( كل ىذا إن لم تكن ريبة، فإن كانت بأن كان ات١نسوب إليو حيا فأنكر .. لم تٕز الشهادة، فإن كان ت٣نونًً جازت على الصحيح، فإن طعن بعض الناس فى ذلك النسب .. امتنعت الشهادة على الأصح.

 

―Boleh baginya bersaksi dengan tasamu‟ terhadap nasab dengan ijma‘. karena nasabnya tidak bisa dilihat dengan mata. Yang mungkin bisa dilihat adalah kelahiran di ranjang, maka cukuplah dalam nasab itu dengar-mendengar. Hal itu boleh walau orang itu tidak mengenal mansub ilaih (seperti ayahnya). Keterangan itu diceritakan dalam kitab Al-Kifayah. Semua ketentuan itu berlaku bilamana tidak ada keraguan. Apabila keraguan itu ada, contohnya orang yang menjadi Al-Mansub ilaih itu masih hidup lalu mengingkarinya, maka tidak diperbolehkan untuk bersaksi. Maka jika mansub ilaih itu gila, boleh ia bersaksi menurut qaul sahih. Ketika sebagian orang mencela nasab tersebut maka tidak diperbolehkan bersaksi tentang nasab itu menurut qaul asoh [4]”. 

Dari ucapan Al-Damiri di atas jelas bahwa ijma yang dimaksud adalah ijma tentang kebolehan bersaksi untuk nasab dengan tasamu‟, bukan ijma keharusan bersaksi dengan tasamu‟. Al-Damiri juga menyatakan kebolehan bersaksi dengan tasamu‟ itu karena nasab tidak bisa dilihat. Hal yang paling mungkin adalah melihat kelahiran di ranjang, itupun yang mengetahui hanya bidan dan beberapa orang saja. Untuk orang lain bagaimana cara bersaksi bahwa Samsul adalah anak Samlawi? Ya cukup dengan mendengar dari orang lain bahwa Samsul itu anak Samlawi. Bagaimana nanti jika bidan bersaksi bahwa sebenarnya anak yang asli dibawa pergi lalu diganti bayi yang lain? Maka kesaksian bidan ini sangat kuat jika diyakini ia tidak berdusta berdasar bukti-bukti lain yang kuat pula. Dalam keadaan seperti itu tasamu‟ gugur.

 

Al-Damiri juga menyatakan, tasamu‟ itu bisa digunakan sebagai tools bersaksi ketika tidak ada keraguan: kullu hadza in lam takun ribatun (hukum bersaksi dengan tasamu‟ ini jika tidak ada keraguan). Jika ada keraguan, semisal Samlawi mengingkari bahwa Samsul adalah anaknya, maka tasamu‟ itu batal. Bagaimana jika Samlawi gila, sehingga ia tidak bisa membenarkan atau mengingkari tasamu‟ yang beredar di tengah masyarakat bahwa Samsul adalah anaknya. Menurut qaul sahih boleh bersaksi dengan tasamu‟ bahwa Samsul adalah anak Samlawi yang gila itu. tetapi ketika ada saksi yang mengatakan sebaliknya, menurut Al-Damiri, tidak boleh bersaksi dengan tasamu‟ bahwa Samsul adalah anak Samlawi yang gila itu, ini menurut pendapat yang ashoh.

 

Istifadlah atau Tasamu’ Wajib Terjadi di Kampung Asal

Bukan di Tempat Hijrah  Syekh Al-Husain bin Haidar al-Hasyimi mengatakan: 

ويجب التنبو إلى أن الاستفاضة يجب أن تكون في بلدتو أو قبيلتو ،لا تلك ات١زعومة والتي تكون في مهجره

―Dan wajib diingat bahwa sesungguhnya istifadlah itu wajib terjadi di desanya atau di kabilahnya bukan (seperti) yang dikira (banyak orang) yaitu istifadlah di tempat hijrahnya.‖[5]

Maksudnya, syuhrah istifadlah itu harus di Negara asal, bukan di daerah tempat ia berhijrah. Jika Ubaid ini dikatakan hijrah dari Bashrah ke Yaman, maka syuhrah-nya ia sebagai anak Ahmad itu harus di Bashrah bukan di Yaman. Sedangkan tidak ada bukti apapun dari masa Ubaid yang kita bisa akses dari Bashrah bahwa Ubaid adalah benar anak Ahmad . apalagi, di Yaman pun Ubaid tidak syuhrah sebagai anak Ahmad sejak masa ia hidup sampai 550 kemudian. Tidak ada kitab yang mengatakan ia anak Ahmad.


[1] Husain bin haidar…h.101

[2] Al-Asqolani, Al-Jawab al-Jalil: 47

[3] Lihat  Wahbah al-Zuhali, Fiqhul Islam wa adillatuhu, 8/282

[4] Al-Damiri, Al-Najm al-Wahhaj, Juz 10 halaman 356

[5] Husain Al-Hasyimi, Rasail fi ‗Ilm al-Ansab, h.101

your advertise here

This post have 0 comments

Terima kasih kunjungannya, silahkan beri komentar ...
EmoticonEmoticon

Next article Next Post
Previous article Previous Post

Advertisement

Themeindie.com